TEMULAWAK, ICON OF INDONESIAN HERBAL MEDICINE ?
Bahan alam tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan baik sebagai obat maupun bahan obat menunjukkan kecenderungan peningkatan dalam penggunaannya. Peningkatan penggunaan ini menunjukkan peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap khasiat dan keamanannya, karena pengunaannya tidak lagi hanya berdasarkan pengalaman empirik secara tradisional saja, tetapi telah mendapat dukungan data ilmiah berdasarkan penelitian. Pengunaan bahan alam tumbuhan sebagai obat kini terpilah menjadi tiga bagian, yaitu sebagai jamu, sediaan obat yang bahan dasarnya berupa simplisia, cara pembuatannya masih sangat sederhana yaitu dengan cara digodog atau diseduh dengan air panas, penggunaannya didasarkan pada pengalaman turun temurun, serta tidak memiliki aspek jaminan pengendalian kualitas. Pengunaan lain adalah sebagai sediaan herbal terstandarkan, yaitu sediaan obat herbal yang bahan dasarnya bukan lagi simplisia, tetapi ekstrak yang kualitas serta kadarnya dapat dikendalikan, khasiat dan kemanannya telah melalui pengujian praklinik berupa pengujian pada hewan percobaan, serta kandungan kimia aktifnya telah dapat ditetapkan. Penggunaan yang paling diinginkan adalah penggunaannya sebagai sediaan fitofarmaka, yaitu sediaan seperti sediaan herbal terstandarkan, tetapi telah menjalani dan lulus pengujian klinik. Sediaan fitofarmaka merupakan sediaan obat herbal yang jaminan kualitasnya setara dengan obat sintetis, sehingga sediaan fitofarmaka ini akan merupakan sediaan obat asal tumbuhan yang bukan lagi menjadi alternative dalam pengobatan, tetapi menjadi mitra sejajar obat sintetis dalam sistem layanan kesehatan formal.
Diantara sekian banyak tumbuhan yang terdapat di Indonesia, temulawak merupakan tumbuhan yang banyak digunakan untuk obat atau bahan obat, hingga dapat dikatakan temulawak merupakan primadona tumbuhan obat Indonesia. Bila Korea terkenal dengan Ginsengnya, bukan tidak mungkin suatu saat nanti temulawak akan menjadi ikon obat herbal Indonesia.
Temulawak merupakan komponen penyusun hampir setiap jenis obat tradisional yang dibuat di Indonesia. Temulawak dalam obat tradisional Indonesia digunakan sebagai simplisia tunggal atau merupakan salah satu komponen dari suatu ramuan. Dalam konteks penggunaan tradisional, temulawak digunakan sebagai obat untuk mengatasi penyakit tertentu, atau juga digunakan sebagai penguat daya tahan tubuh. Di Aceh, temulawak dikenal dengan nama kunyit ketumbu, rimpangnya digunakan dalam ramuan untuk penambah darah, atau untuk mengatasi malaria. Masyarakat etnis Sakai di Bengkalis, Riau, menggunakan rimpang temulawak untuk penambah nafsu makan, sedangkan masyarakat tatar Sunda menggunakan rimpang temulawak untuk mengobati sakit kuning dan mengatasi ganguan perut kembung. Selain oleh masyarakat tatar Sunda, rimpang temulawak juga digunakan dalam ramuan sebagai obat penyakit kuning oleh masyarakat etnis Jawa, yang juga menggunakan rimpang temulawak tunggal sebagai obat mencret. Masyarakat etnis Bali menggunakan rimpang temulawak untuk mengatasi gangguan lambung perih dan kembung, sedangkan masyarakat etnis Madura menggunakan rimpang temulawak sebagai obat keputihan. Komunitas penggemar jamu gendong menggunakan godogan rimpang temulawak sebagai penguat daya tahan tubuh dari serangan penyakit.
Sebagai primadona obat herbal Indonesia, penggunaan temulawak mengalami perkembangan dalam penggunaannya, dimulai dari sediaan obat tradisional, melalui sediaan obat herbal terstandar, akhirnya menjadi sediaan fitofarmaka. Perkembangan penggunaan juga diikuti oleh perkembangan bentuk sediaan, dari bentuk sediaan tradisional seperti jamu godogan, jamu seduh, atau bentuk lain menjadi sediaan berbentuk kapsul, kaplet, hingga bentuk sediaan sirup atau suspensi. Pengembangan bentuk dan penggunaan ini merupakan tuntutan pengguna yan menginginkan kepastian keamanan dan khasiat, serta bentuk yang menarik, praktis, dan stabil. Namun, untuk mengikuti arah perkembangan ini, suatu sediaan fitofarmaka, seperti juga sediaan obat herbal terstandar menuntut adanya jaminan kualitas dari sediaan yang dibuat. Jaminan kualitas suatu sediaan obat, sintetik maupun obat herbal, secara sederhana dapat diterjemahkan bahwa sediaan obat tersebut mempunyai jaminan keterulangan khasiat. Keterulangan khasiat hanya dapat dicapai bila kandungan kimia zat aktifnya diketahui dengan pasti dan dapat dianalisis, kualitatif maupun kuantitatif.
Persyaratan jaminan kualitas dari sediaan fitofarmaka yang mengandung ekstrak temulawak dapat dipenuhi karena kandungan kimia aktif yang terkandung dalam ekstrak temulawak telah dikenal baik, yaitu kurkuminoid yang terdiri atas kurkumin, desmetoksikurkumin, dan bidesmetoksikurkumin, serta kandungan minyak atsiri dengan komponen xanthorhizol sebagai senyawa penanda.
Penggunaan temulawak dalam fitofarmaka sebenarnya dapat berdasar pada penggunaannya dalam obat tradisional. Penggunaan temulawak secara tradisional dapat dipilah menjadi beberapa aktivitas menonjol, misalnya :
• Untuk gangguan pencernaan
• Untuk mengobati sakit kuning
• Untuk mengatasi gangguan keputihan
• Untuk obat malaria
• Untuk meningkatakan daya tahan tubuh / memelihara kesehatan
Dari aktivitas-aktivitas tradisional tersebut dapat dikembangkan sediaan fitofarmaka temulawak sbb :
• Fitofarmaka hepatoprotektor berdasarkan penggunaan tradisionalnya sebagai obat sakit kuning
• Fitofarmaka anti ulser, berdasarkan penggunaan tradisionalnya sebagai obat untuk mengatasi perut kembung dan gangguan pencernaan
• Fitofarmaka anti inflamasi
• Fitofarmaka anti diare
• Fitofarmaka anti malaria
• Fitofarmaka imunomodulator
• Fitofarmaka anti kanker
• Selain sebagai sediaan untuk obat-obat fitofarmaka, berdasarkan pada penggunaan tradisional dalam bentuk jamu gendong, temulawak sangat memungkinkan diproduksi sebagai sediaan minuman kesehatan.
http://blogs.unpad.ac.id/moelyono/Natural herbs which are used as traditional medicine or traditional healing showed high tendency to increase in their usage. Increasing usage of herbs drug indicated that believing in efficacy of herbs drug is increased too. Nowadays, using herbal medicine not only based on empirical experiences, but it have been supported by secientific data. Herbal medicine in Indonesia divided into three classes, that are jamu, the herbal medicine which are using without supporting of scientific data, but based on empirical experiences only. The second type is standardized herbal medicine. It made from extract or herbs which are standardized in quality, safety, and efficacy. The pharmacological activity and toxicity of standarized herbal medicine have been studied by preclinical test in animals. The chemical content of standardized herbal medicine can be determined by analytical methods. The third type is phytopharmaca, that is standardized herbal medicine which supported by clinical data. The quality assurance of phytopharmaca is equal with the quality assurance of synthetic drug, so the phytopharmaca is not only act as alternative medicine but act as substitute medicine for synthetic drugs also.
Among many plants used as herbal drugs in Indonesia, temulawak (Curcuma xanthorrhiza) rhizome is most frequent using as component of drugs or as a drug it self. Korea well kown as popular as ginseng roots, and it is not impossible if in the future, temulawak rhizome can be icon of Indonesian herbal medicine.
In context of traditional medicine, temulawak is used as remedy for treatment of malaria, yellow fever, gastritis, diarrhea, and health drink. After developing into phytopharmaca, temulawak might be develop as hepatoprotective phytopharmaca, anti-ulcer phytophramaca, ant-inflammtory phytopharmaca, anti-diarrheal phytopharmaca, anti-malaria phytopharmaca, immunomodulator phytopharmaca, and even anti-cancer phytopharmaca.